STUDIA Edisi 354/Tahun ke-8 (13 Agustus 2007) |
Selamat! Kamu mendapat warisan Rp 1 miliar!” Waaaah, pasti kamu nggak percaya kalo dapat kabar seperti ini. Menganggap lagi mimpi dan buru-buru pengen cepat bangun. Kenapa nggak percaya? Karena duit segitu tuh banyak banget. Nggak nyangka aja bakalan dapetin warisan, gitu lho. Tapi kalo emang itu adalah kenyataan, ya terima saja. Kali aja dirimu jadi ahli waris dari ortumu yang ngedadak kaya karena dapet undian, terus saking kagetnya meninggal. Jadi deh kamu ahli warisnya. Siapa tahu kan? Ih, tapi amit-amit deh dapetin duit banyak juga kalo harus kehilangan ortu mah. Tul nggak? Tapi intinya, mendapatkan warisan tuh senang. Apalagi sebanyak itu pasti senangnya berlipat-lipat banget kan? Pasti gembira sekali. Hmm.. ini wajar banget kok. Sebab, siapa sih yang nggak senang dapetin harta, apalagi melimpah begitu? But, kalo warisannya berupa harta sih, sehari aja bisa habis kok. Entah ada yang ngerampok atau kamu langsung borong sembako, beli rumah, beli mobil dan macem-macem. Sampe puas. Kalo pun nggak sehari habis, tapi cepat atau lambat pasti habis juga kalo nggak bisa ngelolanya. Eit, cukup prolognya ya jangan ngayal dan jangan keterusan ngomongin soal ini. Dua paragraf pembuka tadi sekadar cantolan aja dari pembahasan utama kita pada edisi pekan ini. Yup, intinya kita emang bakalan ngomongin soal warisan, tapi bukan warisan berupa harta, gitu lho. Lalu warisan apa? Yes, mari kita bicara soal warisan Rasulullah saw. untuk kaum muslimin. Untuk kita-kita yang emang meneladani beliau dalam seluruh aspek kehidupan. Nah, Rasulullah saw. sebenarnya udah ngasih warisan yang nggak bikin kita sesat kalo kita mau mengamalkan warisan yang harganya nggak bisa ditukar dengan duit Rp 1 miliar atau berapa pun besarnya. Sobat, apa yang diwariskan oleh Rasulullah saw. kepada kita? Beliau saw. bersabda: Kalo membaca hadis ini, kayaknya nggak ada yang aneh deh. Maksudnya? Iya, maksudnya al-Quran dan as-Sunnah adalah dua istilah yang udah kita kenal sejak pertama kali ngaji. Cuma yang jadi masalah tuh, sejauh mana sih kita mau ngerti dan mengamalkan ajaran-ajaran di dalamnya yang udah diwariskan oleh Rasulullah saw. itu. Iya nggak sih? Sebab, praktiknya sih kaum muslimin malah banyak yang ngamalin ajaran yang bukan warisan dari Rasulullah saw. Mau bukti? Yuk kita bahas sama-sama. Nasionalisme warisan Rasulullah saw.? Oya, dalam hadis ini disebut dengan istilah ashabiyyah. Apa itu ashabiyyah? Ashabiyyah artinya semangat golongan. Sekarang-sekarang kita suka dengar istilah itu dengan nama sukuisme, patriotisme, nasionalisme. Pokoknya ashabiyyah itu adalah bangga terhadap kelompoknya, sukunya, atawa negaranya melebihi kebanggaannya kepada Islam. Kabilah-kabilah di wilayah Arab pada masa jahiliyah acapkali membanggakan kelompok masing-masing. Termasuk kalo ada kabilah yang kebetulan lebih maju dari kabilahnya, mereka suka iri, lalu menebar dendam dan terjadilah perang. Idih, hina banget ya? Cuma persoalan sepele kok ribut. Aneh ya? Sepanjang abad kelima, salah satu perang yang sangat terkenal alah Harb al-Basus, yang disebabkan oleh terbunuhnya unta bernama Basus milik seorang tua dari Bani Bakr. Perang ini berlangsung selama 30 tahun dan masing-masing saling menyerang, merampas, dan membunuh. Harb Dahis wa’l Ghabraa timbul karena ketidak-jujuran dalam suatu pacuan kuda antara Suku Abs dan Dhabyan di Arabia Tengah. Perang ini berlangsung sampai beberapa waktu. Kedua Suku Aus dan Khazraj di Yastrib (sekarang Madinah) juga terlibat dalam Harb al Bu’ath (Perang Bu’ath), dan di Mekkah Suku Quraisy dan sekutunya, Bani Kinanah, berperang dengan Suku Hawazin dalam perang Harb al-Fujjar (Akar Nasionalisme di Dunia Islam, hlm. 14). Rasulullah saw, baginda kita bersabda saat terjadi peristiwa perang yang mengusung semangat antar golongan: “Wahai kaum muslimin, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala saat aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam; yang karena itulah kalian menjadi mulia dan menjauhkan diri dari paganisme, menjauhkan kalian dari kekufuran dan menjadikan kalian bersaudara karenanya?” So, jangan sampe kita membela kelompok yang menyerukan semangat golongan. Padahal seharusnya kita membela kelompok, dimana dasar pembelaan kita adalah karena ikatan akidah Islam. Bukan yang lain. Sebab, inilah yang diperintahkan oleh Allah Swt. dalam firmanNya: So, kalo sekarang seorang muslim semangat banget memperingati berdirinya negara atas dasar nasionalisme, bahkan penuh perjuangan membela dan mempertahankan ikatan nasionalisme ini, berarti emang udah nggak nganggap Islam sebagai warisan pandangan hidup yang wajib dijaga dan dipertahankan. Atau minimal banget dirinya tidak tahu masalah yang sebenarnya karena nggak pernah mempelajari Islam dengan benar dan baik. Lebih kenal dengan nasionalisme ketimbang dengan Islam. Sungguh memprihatinkan, Bro! Demokrasi warisan Rasulullah saw.? Hal ini nggak akan bisa terealisasi kecuali jika manusia diberikan kebebasan dan dilepaskan dari segala ikatan. Dari sini, lahirlah kemudian ide kebebasan (liberalisme) yang selanjutnya menjadi sesuatu yang inheren alias melekat dalam ideologi Kapitalisme. Dari ide kebebasan ini, pada gilirannya, lahirlah konsep demokrasi; sebuah konsep yang menghendaki manusia steril dari intervensi pengaturan pihak lain (baca: agama atau Tuhan), sekaligus menghendaki agar manusia diberikan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Sederhananya gini deh. Sekularisme itu akidahnya Kapitalisme. Sementara mesin politiknya untuk menggerakkan sistem Kapitalisme ini adalah demokrasi. Sebagaimana sejarahnya, demokrasi itu bukan berasal dari ajaran Islam. Tapi, mengapa sebagian besar kaum muslimin lebih suka mewarisi aturan buatan manusia ini ketimbang aturan buatan Allah Swt.? Mengapa lebih memilih warisan Voltaire dan Montesque ketimbang warisan Rasulullah saw.? Sungguh terlalu! Pilih warisan Rasulullah saw. or penjajah? Setiap tahun masyarakat Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan negeri ini. Merasa udah merdeka dan merasa udah bebas dari tekanan penjajahan. But, kayaknya kita banyak lupa atau malah melupakan kalo yang namanya penjajahan bukan cuma secara fisik, tapi juga secara ideologi, hukum, pemerintahan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Nyatanya? Sungguh kita pantas bersedih karena negeri ini—meski ngaku-ngaku merdeka dari penjajahan secara fisik—ternyata masih menjadi hamba penjajah. Buktinya apa? KUHP alias Kitab Undang-Undang Hukum Pidana misalnya, masih setia dipake untuk ngatur kehidupan negeri ini. Demokrasi menjadi konsep politik yang diyakini kebenarannya, bahkan diperjuangkan oleh tokoh-tokoh muslim. Lha, masih cinta sama penjajah dan rela dijajah rupanya. Piye iki? Dapat imbalan apa sih kalo bela-belain demokrasi? Jabatan? Harta? Hmm.. jangan sampe syahadat kita tak berkutik di hadapan demokrasi. Ah, jangan harap kita bisa lepas dari penderitaan ini jika masih setia dengan kebodohan kita mempertahankan (dan bahkan memperjuangkan) demokrasi, sekularisme, nasionalisme, dan kapitalisme ini. Mimpi kali! [solihin: www.studia-online.com] |
Minggu, 07 September 2008
Apa Warisan Rasulullah saw.?
Diposting oleh Gigih Fantriko TW di 00.43
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar